Hallo I’m back!

Akhirnyaaaaaa setelah entah sekian lama, saya muncul lagi di blog yang sudah hampir usang ini. jadi, saya mau cerita, bahwa menikah adalah tidak selalu tentang canda tawa romantisme belaka. banyak kisah-kisah para pecinta dunia yang tidak pernah diceritakan bahwa ada masa-masa dimana kita rasanya ingin sekejap menghilang, lari dari problematika yang ada. tapi apa daya, saya memiliki suami yang luar biasa, yang tetap mendekap saya meski istrinya sepertinya mengidap penyakit berbahaya: ce-re-wet.

hamil, juga bukan hanya tentang perkara menyenangkan ditendang-tendang dedek bayi. hamil adalah penurunan nafsu makan, penurunan hemoglobin, pe-labilan emosi, dan ini dan itu. saya salut kepada wanita-wanita di luar sana yang tetap bisa menambah hafalan Qur’annya ditengah rasa mual yang begitu mengganggu, ditengah rasa sesak, dan ini dan itu. godaannya luar biasa.

melahirkan, pun bukan perkara menyenangkan memiliki bayi mungil gendong sana sini timang-timang. melahirkan adalah proses jihad seorang ibu, bahagia menemui sang bayi, atau bahagia menjemput surga. melahirkan adalah dzikir-dzikir yang tak pernah usai. melahirkan adalah bahagia dengan tangisan. melahirkan adalah sakit, vbac ataupun sesar, sama sakitnya. bahkan yang terakhir lebih-lebih.

saya tertarik untuk menceritakan detik-detik saya akan melahirkan.

Sabtu, 14 Mei 2016, adalah jadwal rutin saya untuk senam hamil. dokter terus menerus meminta saya senam hamil supaya dilatih bagaimana nanti saat persalinan tiba. setibanya di Jakarta Islamic Hospital (JIH), saya langsung senam seperti biasa. namun, ditengah agenda, saya merasa seperti ada yang merembes. tapi saat itu saya tidak begitu ngeh, saya kira mungkin saya pipis -_- tapi makin lama makin banyak, lalu saya segera ke bidan yang standby untuk melihat apakah itu air ketuban, atau bukan. bidan bilang, itu air ketuban. pembukaan masih 2. lalu saya diminta jalan-jalan supaya cepat terbuka pembukaannya. saya jalan sebentar, lalu jajan somay -_-. ketubannya makin banyak keluarnya. lalu saya kembali ke JIH. bidan bilang, tiduran aja supaya ga makin banyak keluarnya.

bidan laporan ke dokter Prita, dokter obgyn favorit saya, akhwat tangguh militan uwooo~dokter prita bilang, kalau pembukaan belum nambah, jam 12 siang, terpaksa harus diinduksi. cerita punya cerita, saya dengar induksi itu sakit. baiklah, saya pasrah. sejam, dua jam. saya tidak merasakan apa-apa. di cek, sudah naik bukaan 3. tapi saya masih bisa santai sambil main piano tiles (padahal suami dan ibu saya sudah tegang). ohya, tapi naik dari bukaan 2 ke 3 itu lamaaa sekali, bidan bilang itu biasa, anak pertama. lalu, ditambah dosis dan kecepatan induksinya. bidan bilang, setelah ditambah kecepatan induksinya, mungkin akan lebih sakit. namun saya juga tidak merasakan apa-apa. jam 6 sore baru menambah 4 pembukaannya. dokter bilang, ditunggu sampai jam 8, kalau belum nambah lagi pembukaannya, terpaksa mereka harus menyiapkan ruang operasi. karena sudah lebih dari 12 jam ketuban saya rembes, khawatir si bayi keracunan ketuban, dan kekhawatiran lain.

tidak menambah juga pembukaan sampai jam 8. akhirnya, demi menyelematkan si bayi mungil, saya harus rela perut saya di belah T__T jam 21.00 saya masuk ruang operasi, jam 21,20. si mungil lahir. betapaaaaa bahagianya saat melihat si kecil menangis di tengah-tengah ruang operasi. saat itu juga, saya merasa menjadi wanita paling bahagia.

Alhamdulillah ‘alaa kulli hal… atas rasa syukur saya memiliki si mungil yang sekarang lebih mirip tales bogor (hahah), saya dan suami memberi nama ‘Syahidah Nada Alyssa’ yang kami harap, sifat nya nanti mencerminkan namanya, kesaksian seorang bangsawan yang cantik, penuh dengan kebenaran, kemurahan hati, dan kedermawanan.

sekarang, Nada sudah 3 bulan. sudah bisa ngoceh-ngoceh, sudah bisa diajak bercanda, sudah ada lesung pipi hahaha penting.

doakan ya supaya saya bisa menjadi bunda yang baik untuk Nada. menjadi bunda, sekaligus teman curhat, sekaligus teman main, sekaligus teman ngopi, sekaligus teman spa, sekaligus kakak, sekaligus semuanya…. Bismillah, biidznillah :*****

Jakarta, 24 Agustus 2016

3:51

terkadang, kita merasakan kesedihan, kekhawatiran, atau apapun perasaan-perasaan tidak menyenangkan itu ketika kita terlalu sering memperhatikan apa yang ada di atas kita, tanpa kita mau tau tentang bagaimana keadaan yang ada di bawah sana. kita mungkin lupa bagaimana cara bersyukur, lupa bagaimana seharusnya menyusukuri nikmat yang begitu luar biasa nikmatnya. hingga kita diingatkan, dengan perasaan sedih, dengan perasaan khawatir, dengan perasaan-perasaan lain yang membuat kita terkadang semakin menjadi seperti butiran residu tak berguna dimuka bumi. padahal, kita hanya sedang diingatkan, untuk semakin mengingatNya, dengan cara yang Ia sukai. dengan doa-doa panjang kita misalnya, dengan sujud-sujud khusyu’ kita, dengan rintihan pinta kita, atau dengan apapun cara agar Ia suka, Continue reading 3:51

pulang

bukan sekali dua kali aku sempat sebal, gontai membukakan pintu, ketika kamu pulang cukup larut malam dari jam pulang seharusnya. bukan aku tak mengerti, bukan. aku terkadang ingin sekali saja menghapuskan kata ‘lembur’ di kamusmu. membayangkan kamu pulang sore dan kita bisa bercengkrama lebih lama.

tapi bagaimana juga cara menghapusnya. aku tau, kadang, kamu memilih lembur malam ini supaya besok bisa pulang cepat; tapi nyaranya besok malam akan ada lemburan-lemburan lain. kadang juga, kamu memilih lembur malam ini karna kamu tau, besok malam kamu ada janji jalan-jalan bersamaku; tapi tetap saja, malam itu kamu harus lembur dulu baru bisa pulang untuk jalan-jalan.

sudah teramat sering kamu menjelaskan kondisimu, posisimu, pekerjaanmu, yang memang cukup menyita waktu; bahkan saat makan malam, saat sebelum subuh, selalu saja ada obrolan-obrolan pekerjaan dengan atasanmu yang bukan sekali dua kali membuatku cemburu. sudah teramat sering kamu mencoba menjelaskannya, perlahan, sambil sesekali menunjukkan foto-foto berkas yang sama sekali tak ingin ku lihat.

kamu tau, hampir setiap hari, saat jam pulang kantor, aku selalu cepat-cepat mengirimkan pesan singkat untuk titip ini itu; paling sering menitip cemilan-cemilan malam. padahal, kamu tau, aku sebetulnya tidak butuh-butuh amat dengan titipan itu. aku hanya berharap dengan adanya titipan itu, kamu bergegas pulang.

tapi ternyata tidak. kamu akan tetap membawakan titipan itu, nanti setelah lemburanmu selesai. apa aku marah? tidak juga. lambat laun aku akan mengerti dengan sendirinya, tanpa perlu penjelasan-penjelasan lagi darimu. aku hanya perlu mengubah kewajibanku menunggu yang bagiku menyebalkan, menjadi suatu yang membahagiakan; menyiapkan air minum-mu, menyiapkan baju ganti, menyiapkan piring-sendok, dan menyiapkan-menyiapkan lainnya, dengan penuh rasa senang menantimu pulang.

ah. bahkan satu jam setelah kepergianmu berangkat kerja, aku sudah menantimu pulang.

pulanglah.

ini tentang kita, terlebih aku

ini tentang kita. terlebih tentang aku, yang selalu saja berlebihan dalam hal rindu. hampir setiap pagi, setelah mencium punggung tanganmu, memintamu mendaratkan kecupan manis di dahiku, kemudian pergi menunaikan tugas sebagai suami, aku lantas menangis dalam-dalam sambil memanggil-manggil namamu seolah kamu akan pergi bertugas di bumi Palestina. hampir setiap hari aku menangis di pagi hari setelah melepasmu bekerja. hampir setiap hari aku menangis merindukanmu dari dalam rumah kecil kita. hampir setiap hari aku menangis sembari mengelus-elus perutku dan bilang kalau ‘ayah lagi kerja buat dedek. dedek jangan nangis ya’, padahal bunda nya yang lagi nangis-nangis.

dan setiap kamu pulang, dengan tampangmu yang kadang sedikit kusam kelelahan karna banyaknya kerjaan yang semakin bertumpuk, aku tak akan pernah menanyai mengapa kamu begini dan begitu. aku hanya akan mencium punggung tanganmu, memintamu mendaratkan kecupan di pipi kanan kiri dan dahiku, lantas memelukmu erat–layaknya pasangan LDR berbulan-bulan yang hanya bisa berjumpa lewat skype–lalu aku kembali meneteskan air mata. entah dikamar mandi ketika ambil air wudhu, atau ketika menyiapkan makanmu, atau ketika memelukmu kembali karna masih rindu.

ini bukan karna kami pasangan yang baru menikah, bukan juga karna bawaan dedek bayi, tapi karna terkadang aku merasa selalu meminta perhatian lebih, kesabaran lebih, pengertian lebih, untuk mengerti dan memahami sikap-sikapku yang kadang masih jauh dari kata dewasa. tapi kamu selalu mengalah, bersabar, dan tak pernah marah sekalipun seharusnya kamu marah atas sikapku.

lalu aku. aku hanya bisa memandangimu malam-malam saat kamu tertidur pulas, mengusap rambutmu, mencium keningmu, memelukmu erat saat kamu sempurna terlelap. lalu diam-diam aku kembali menangis. memandangi wajah laki-laki yang sebelumnya bukan siapa-siapa, tapi kini harus menanggung dosa-dosaku ketika aku lalai; bahkan hanya sebatas malas pakai kaus kaki ke warung depan. laki-laki yang kini bekerja, berlelah-lelah, untuk membahagiakanku dan juga calon buah hati kami. laki-laki yang sabarnya tiada batas, yang selalu berusaha mengiyakan apa yang menjadi keinginanku. laki-laki yang faham betul bagaimana cara menjaga, melindungi, menyayangi, dan memanjakanku untuk membuatku selalu nyaman berada di dekatmu.

lalu kamu. terimakasih untuk kesabaran yang berlipat ganda saat bersamaku. terimakasih untuk selalu memahami dan mengerti aku yang masih begini. terimakasih untuk cinta dan kasih sayang yang begitu besarnya.

satu hal yang perlu kamu tau. aku mencintaimu, lebih besar dari yang kamu tau.

selamat malam sayang. ayo pulang. aku rindu.

Menikah itu…

Bagi saya, pernikahan itu proses menyamakan voltase dua insan yang bisa jadi sama sekali berbeda pemikirannya. Prosesnya juga bukan suatu yang singkat. Butuh kelapangan waktu, terlebih kelapangan emosional untuk berusaha saling mengerti satu sama lain. Bukan berarti pernikahan itu tidak menyenangkan. Malah teramat menyenangkan. Karna dengannya, kau jadi tau betapa setiap apapun yang dilakukan berdua, dengan cinta, akan menuai berkali kali lipat pahala dan juga menggugurkan dosa. Maka itu, pernikahan boleh jadi adalah salah satu jalan bagi anak muda yang seringkali terjebak dalam cinta-cinta buta menyesatkan.

Saya, sebetulnya pernah menuliskan sederetan keinginan di sebuah buku agenda kecil; dan salah satu dari keinginan itu adalah untuk menikah di usia 23 tahun. Entah jin apa yang merasuki saya hingga saya menulis keinginan itu di buku kecil usang kala itu. But, that works! Saya benar-benar menikah di umur saya yang ke 23 tahun. Empat hari setelah hari lahir saya berlangsung. Bersyukur? Tentu. Selain karna keinginan saya masa lampau yang ternyata terkabul, Maa Syaa Allah. Juga karna suami saya yang In Syaa Allah luar biasa.

Saya mengenal suami saya sejak saat kami sama-sama berada di salah satu perguruan tinggi negeri di Purwokerto, Jawa Tengah. Beliau angkatan 2007, sedang saya 2010. Kami berbeda jurusan. Suami saya mengambil jurusan Ilmu Politik, dan saya Kimia murni. Sering bertemu? Tentu tidak. Selain karna letak kampus yang depan-belakang, juga tidak pernah ada agenda-agenda kampus yang sering mempertemukan. Hingga kami pada akhirnya saling mengenal di salah satu organisasi yang mempertemukan mahasiswa-mahasiswa muslim di dalamnnya. Meskipun satu organisasi, frekuensi untuk berada dalam satu forum pun terbilang amat jarang. Kami berbeda distrik. Beliau bagian depan, sedang saya belakang. Namun di tahun terakhir, kami pernah berada dalam satu divisi yang sama saat kami disatukan dalam organisasi tersebut tingkat daerah. Beliau sebagai pemimpin divisi itu, saya dan teman-teman yang lain sebagai jundi (anggota) nya. Beberapa kali sempat berada dalam forum yang sama, namun tetap saja, kami hanya saling mengetahui, bukan mengenal. Karna dulu, kami sama-sama sedang melihat ke arah yang berbeda.

Sampai tiba saatnya Continue reading Menikah itu…

begini caraku memandangmu

Aku tidak terlalu peduli apa anggapan mereka, atau bahkan apa tanggapanmu atas dirimu sendiri. Ketika aku telah meingikrarkan diri berani membersamaimu, aku sudah cukup paham atas kemungkinan kurang dan lebihmu.

Kau memang tak sepenuhnya baik, tapi kau pun tak sepenuhnya kurang baik. Kau punya kekurangan, tapi bukan berarti tak bisa menjadi lebih baik. Kau punya kelebihan, dan bukan tidak mungkin bisa saja menjadi sebuah boomerang. Continue reading begini caraku memandangmu

Melangitkan Cinta.. Mendekap Cita.. Menggapai Syurga..